Hipolesa. Vol. 2 No. 1. Mei 2008 ISSN 0852-8977
Kemampuan Masyarakat Adat Negeri Seith: Untuk Mengelolah Potensi Konflik
OLEH
ELSINA TITALEY
ABSTRAKSI
Suatu masyarakat dimanapun dan kapanpun, di dalamnya tidak mungkin tidak terdapat potensi konflik. Bila suatu konflik yang terjadi tidak dikelola secara baik, maka konflik itu akan menimbulkan kekerasan dan kekacsuan sampai akhirnya mengakibatkan hancumya masyarakat itu. Dengan demikian dibutuhkan kemampuan untuk mengelolah setiap potensi konflik agar konflik itu dapat berubah menjadi situasi damai dan bermanfaat bagi masyarakat. Ternyata masyarakat Maluku dalam hal ini masyarakat adat memiliki managemen tersendiri untuk mengelolah konflik sehingga berbagai konflik yang terjadi yang dapat mengarah pada kekerasan dapat terhindarkan, sebagaimana terdapat di negeri Seith.
Kata Kunci : Kemampuan Masyarakat, Negeri Adat dan Potensi Konfik
A. Pendahuluan
Agaklah sulit untuk menyampaikan alasan-alasan sangkalan bahwa pada
negara-negara berkembang tidak ditemukan konflik kekerasan yang menimbulkan
banyak korban manusia maupun harta bends. Bahkan dalam negara-negara industri
maju sekalipun selalu ada konflik di dalainnnya, walaupun tidak dalam bentuk
kekerasan negara terhadap rakyatnya sebagaimana dipraktekkan pads negara-negara
berkembang. Selain itu, pada negara-negara maju, pemerintah memiliki kemampuan
untuk menyelesaikan konflik yang terjadi diantara kelompok masyarakat sehingga
tidak mengakibatkan kekerasan. Juga tingkat kesadaran terhadap nilai-nilai
kemanusiaan serta disiplin dan ketaatan pada norma-norma oleh masyarakat yang
sudah maju itulah yang mengakibatkan setiap konflik dapat diselesaikan dengan cepat.
Namun apapun alasanhya, ternyata pada setiap kelompok manusia selalu ada saja
konflik yang berlangsung didalamnya. Dapat katakan bahwa konflik adalah bahagian
dari kehidupan suatu masyarakat.
Bila kita memperhatikan suasana kehidupan manusia pada jaman purba sebelum terbentuknya negara sebagaimana digambarkan oleh para sarjana yang menyampaikan pendapat mereka dalam farian teori-teori kekuatan atau teori-teori kekuasaan tentang timbulnya negara, membenarkan bahwa sejarah kehidupan manusia
Elsye Titaley, Dosen Artisan Sosiologi, F/S/P Unpalli. Archon 104
Hipotesa, !'ol. 2 No. 1. Mei 2008 /SSN 0852-8977
adalah sejarah yang diliputi oleh konflik. Francis Abraham rincnunjuk pada beberapa teori-teori perjuangan kekuasaan sebagai contoh klasik dalam tradisi filsafat politik hubungan-hubungan kekuasaan dalam karya-karya Machiavelli, Bodin, Hobbes, Mosca dan Pareto yang menganalisis konflik-konflik dalam negara (polity) dalam hubungannya dengan kekuasaan (Abraham, 1991:109). Jadi, konflik sebagai suatu realitas sosial, telah ada sejak awal mula manusia dan terus ada dalarn sejarah manusia.
Dahrendorf berpenderian bahwa masyarakat mempunyai dua wajah' yang berbeda yakni konflik dan konsensus maka perlu dipisahkan dalam sebuah aktivitas pengkajian ilmiah (teori). Menurut Dahrendorf (dalam George Ritzer - Doglas J. Goodman) bahwa :
masyarakat mempunyai dua wajah (konflik dan konsensus) dan karena itu teori sosiologi harus dibagi menjadi dua bagian : teori konflik dan teori konsensus. Teoritisi konsensus hares menguji nilai integrasi, dalam masyarakat dan teoritisi konflik hares menguji konflik kepentingan dan penggunaan kekerasan yang mengikat masyarakat bersama dalam tekanan itu (Ritzer es, 2005: 153).
Alo Liliweri termasuk salah satu sarjana yang melakukan analisis social budaya tentang konflik. la menyoroti berbagai keragaman dalam masyarakat dapat mengakibatkan timbulnya konflik. Keragaman menjadi potensi timbulnya kecemburuan dan konflik. Untuk menanggulanginya, maka keragaman yang ada mesti diterima dan diakui sebagai suatu anugerah dan dibiarkan tumbuh sewajarnya. Untuk itu. maka diperlukan suatu manajemen konflik agar potensi konflik dapat dideteksi sejak awal dan dikelola secara adil dan bijak untuk menjadi potensi pembangunan. Konflik dirumuskan sebagai :
1. Hubungan pertentangan antara dua pihak atau lebih (individual atau kelompok)
yang meiliki atau merasa memiliki sasaran-sasaran tertentu diliputi pemikiran,
perasaan atau perbuatan yang tidak sejalan.
2. Pertentangan atau pertikaian karena ada perbedaan dalam kebutuhan. nilai.
motivasi pelaku atau yang terlibat didalamnya.
3. Sesuatu proses yang terjadi ketika satu pihak secara negatif mempengaruhi pihak
lain. dengan melakukan kekerasan fisik yang membuat perasaan dan fisik orang
lain terganggu.
4. Bentuk pertentangan yang bersifat fungsional, karena pertentangan semacm itu
mendukung tujuan kelompok dan membarui tampilan, namun disfungsional karena
menghilangkan tampilan kelompok.
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, F1S/P Unpot/i, Ambon 105
Hipotesa, Vol. 2 No. I. Mel 2008 ISSN 0852-8977
5. Proses mendapatkan monopoli ganjaran, kekuasaan, pemilikan dengan
menyingkirkan atau melemahkan para pesaing.
6. Suatu bentuk perlawanan melibatkan dua pihak secara antagonis.
7. Kekacauan ransangan kontradiktif dalam arti individu.
Dari berbagai defenisi tersebut, terlihat bahwa dalam setiap konflik terdapat
beberapa unsur :
I. Ada dua pihak atau lebih yang terlibat. Jadi ada interaksi antar mereka yang
terl ibat.
2. Ada tujuan yang dijadikan sasaran konflik. Tujuan itulah yang menjadi sumber
konflik.
3. Ada perbedaan pikiran, perasaan, tindakan diantara pihak untuk mendapatkan atau
untuk mendapat tujuan/sasaran.
4. Ada situasi konflik antar dua pihak yang bertentangan. Ini meliputi situasi antar
pribadi, antar kelompok dan antar organisasi.
Pengalaman di Indonesia; konflik kekerasan yang terus terjadi sejak muncuInya
Orde Reformasi sampai tahun 2004 telah menjadi kerisauan banyak kalangan. Konflik
telah menimbulkan korban yang sangat banyak. Pembunuhan antar sesama dan
penghancuran berbagai fasilitas dengan berbagai alasan, dijadikan seakan-akan sebagai
pemicu konflik. Belum terhitung kerugian harta benda dan besarnya kerugian pada
nilai-nilai sosial - kemanusiaan. Bila diteiiti, ternyata masyarakat adat di Maluku
memiliki kemampuan untuk mengelolah konflik agar konflik tidak mengarah kepada
kekerasan yang menimbulkan banyak korban. Masyarakat adat memiliki kemampuan
untuk mengelolah potensi damai agar suasana damai tidak berubah menjadi konflik.
Tulisan ini diangkat berdasarkan analisis data penelitian yang sangat menarik diperoleh
di Negeri Seith. Alasannya, saat terjadi konflik Maluku dengan tuduhan konflik antar
pemeluk agama dengan berbagai korban yang timbul, ternyata masyarakat Negeri Seith
(penduduk beragama Islam) sementara melindungi kurang lebih sebanyak 60 orang
orang Ouw (beragama Kristen).
B. Pembattasan
1. Metigenal Negeri Seith
Sejarah Singkat
Negeri Seith yang sekarang ini ada sebagai salah satu negeri adat di jasirah
Leihitu Kabupaten Maluku Tengah dengan batas-batas petuanannya : sebelah utara
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, F/S/P Unpatti, Ambon 106
Hipolesa, Vol. 2 No. 1. Mei 2008 ISSN 0852-8977
dengan laut Banda selanjutnya pulau Seram, sebelah selatan dengan petuanan
Negeri Laha, sebelah timur dengan petuanan Negeri Lima dan sebelah barat dengan
pctuanan Negeri Kaitetu menurut catatan Rumphius, seluruh masyarakat beragama
Islam ini, dahulu merupakan bagian dari lima buah negeri di pegunungan. Kelima
negeri tersebut termasuk dalam Uli Leala yaitu Uli kelima dari ke tujuh buah Uli di
tanah Hitu. Uli Leala termasuk dalam persekutuan masyarakat adat Ulilima.
Kelima negeri atau Hena yang berada dipegunungan itu adalah Zeitj, Hautuna,
Libbalehoe, Wausselaa dan Laijn. (Rumphius, Ambonsce Lanbeschrijving, 1983:
37). Negeri Seith, secara sosiologis, memperlihatkan sebuah konfigurasi sosial
yang kaya (majemuk), berdasarkan sejarah asal setiap soa, maupun pilihan lokasi
atau teritorial pemukiman. Datuk-datuk mereka berasal dari pulau Seram. Mereka
berlayar dengan gusepa atau kora - kora dan tiba di pulau Ambon di wilayah
jazirah Leihitu, kemudian naik kepegunungan, seterus mendirikan pusat-pusat
pemukiman di sana yang dikenal dengan nama Soa atau Hena yang berdiri sendiri-
sendiri. Kemudian, mereka turun secara bergelombang (tidak serentak)ke pantai
dengan soanya masing-masing. Setiba di pantai, tiap-tiap Hena berdiri sendiri-
sendiri sebagai "negeri" kecil, dan kemudian bergabung menjadi negeri Seith.
Hena-hens tersebut kemudian dijadikan Soa dengan batas teritori dengan masjidnya
masing-masing. Setiap soa dipimpin oleh kepala soanya. Kepala soa mempunyai
wewenang yang luas dibandingkan dengan Kepala Soa di negeri atau yang lain.
Soa-soa dimaksud adalah: Seith, Hautuna, Lehu-Lehu, Wasila dan Laijn.
Mengenai masing-masing Soa dapat dijelaskan :
a. Soa Nuhuitu atau Soa Seith
Soa Nuhuitu berasal dari gunung Late (Latea) kira-kira satu kilometer arah tenggara dari Negeri Seith sekarang. Pemegang tugas pemerintahan, pada saat belum turun ke pantai adalah Tupan. Dikisahkan bahwa, pada saat pemerintahan Tupan, ada seorang Mahu mendarat di pantai Seith dengan kora-koranya. Tupan akhirnya memerintahkan malesi-malesi-nya (prajurit) untuk mencari pendatang itu dan membawanya menghadap Tupan. Setiba malesi-malesi itu dipantai, Mahu sementara tidur nyenyak, sehingga dengan mudah mereka menangkapnya dalam keadaan tertidur. Ia kemudian diangkat sebagai anak angkat karena kebetulan Tupan-pun tidak mempunyai anak. Tupan bermarga atau berasal dari rumahtau Nukuhuli sedang anak angkatnya ini diberi nama marga Nukuhehe. Di Late beberapa rumah tau dapat dicatat yaitu Nukuhuli dan Hatuwe. Dari Late kelompok Ilena ini turun ke pantai di Seith sekarang ini. Di Negeri Seith, pada Soa Seith (asal Late ini) ada beberapa rumahtau selain kedua rumahtau tersebut diatas yaitu Nukuhehe, Mahu, welitela, Pesilima, Liuloan, Mewar dan Wakang. Ama (tua adat)
di dalam tiap rumahtau dapat dicatat sebagai berikut : (1) Nukuhehe ber-ama
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, F/SIP Unpalli. Ambon 107
Hipolesa. Vol. 2 No. 1. Mei 2008 ISSN 0852-8977
Heilesi, (2) Mahu ber-ama Kotahuteng, (3) Nukuhali ber-ama Tupan, (4) Hatuwe ber-ama Lihu, (5) Welitela ber-ama Well, (6) Pesilima ber-ama Pesi, (7) Luiloan tidak mempunyai ama, tapi dibolehkan memakai ama Lihu, (8) Mewar ber-ama Samulapessy, (9) Wakang ber-ama Wakang. Ama-ama ini membantu Kepala Soa dalam upacara-upacara adat.
b. Soa Hautuna
Hautuna berarti bau gunung Tuna. Letak gunung Tuna adalah kira-kira 8 kilometer selatan Seith. Hautuna adalah Hena tersendiri. Dan Tuna masyarakatnya turun ke Wae Huhu dan terns turun lagi sesudah beberapa tahun kemudian ke lereng gunung Kombokal untuk kemudian ke Ola dan dari Ola ke Loin. Dan Loin masyarakat Hautuna turun lagi Tanama Lima untuk selanjutnya turun lahi ke Hautuna Lama kira-kira satu kilometer ke arah Barat dari Seith sekarang ini dipantai. Kemudian mereka bergabung dengan Soa Seith dengan daerah teritorinya sendiri dengan mesjidnya sendiri. Sewaktu di Tuna kepala/pemimpinnya disebut Sulu dari mats rumah Tanasy. Soa Hautuna mempunyai rumahtau : Tomasi, Tala, Haupea dan Suilehu. Pada waktu penggabungan di negeri Seith, maka Soa Tanasy menjadi rumahtau dan kelima.rumahtau.
c. Soa Lehu-Lehu (Lebelehu)
Letaknya Lehu-Lehu dahulu di gunung kira-kira 4 km ke Selatan negeri Seith, tempat asalnya bernama Waiwau. Dari Waiwau masyarakatnya berpindah Hatu, kemudian mereka turun lagi ke Rokomua kemudian berpindah ke Lahanwala dan akhimya kepantai di tempat yang bernama Tihu, kira-kira 2 km dan Seith sekarang ke arah Barat. Dari Tihu pindah lagi dan bergabung dengan masyarakat yang sudah ada di Seith sekarang ini dan menempati daerah teritorial tersendiri, sehingga Soa ini juga bersifat geneologis teritorial dan mempunyai Masjid sendiri. Lehu-Lehu dikepalai oleh seorang pemimpin dengan gelar Tuhasal Sahulau (upu Iangkah jauh). Tuhasal berasal dari mata rumah Pautain. Di Lehu-lehu ada mata rumah yang tetap asli dari gunung yaitu Paulain, Kakaly dan Mony. Paulain menjadi guru negeri di Masjid, matarumah Mony dengan jabatan Ketua adatnya dengan gelar Toku-Ul sedang pembantunya bergelar Lisa Amet. Dari Kakaly jabatannya adalah pembantu
Lisa Amet.
d. Soa Wasila
Masyarakat Soa ini berasal dari suatu tempat di gunung belakang Seith
sekarang (kira-kira 6 km ke arah Tenggara) bemama Wasi Tapele, pemimpinnya bergelar Heruen sedangkan pembantunya bergelar Kohru, kepala dan pembantunya berasal dari mata rumah Hatau. Dan Wasi Tapele mereka turun ke Wai Papokol dan kemudian ke Tihu dan bergabung dengan masyarakat dari Soa Lehu-Lehu.
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, FISIP Unpaid, Ambon 108
Hipotesa, Vol. 2 No. 1. Mei 2008 ISSN 0852-8977
Bersama-sama dengan masyarakat Lehu-Lehu mereka pindah ke negeri Seith sekarang ini, tetapi menempati teritori sendiri dan Masjid sendiri.
e. Soa Layn
Hena atau negeri pertama yang didiami soa Layn adalah Elilayn yang berjarak kira-kira I km ke arah Barat di tepi pantai. Mereka kernudia berpindah dari Elilayn ke Nahait dan selanjutnya ke Ouw, yang sekarang disebut Waihula. Sewaktu di Ouw, terjadi perpisahan di antara mereka. Ada sebagian ke Ouw di Saparua dan sebagian lagi tetap di Ouw Seith, dan kemudian mereka pindah ke Akapele. Selama di Akapele, mereka banyak mengalami kematian, yang sebabsebabnya diduga karena orang-orang di Akapele melanggar janji kakaknya dari Lehu-Lehu yang menjadi dukun disana. Mereka pindah ke Hatumaten di sini mereka berusaha membangun negeri yang baik disertai mendirikan Masjid, tetapi mereka tidak bertahan lalu pindah ke Seith sekarang ini.
Kepala atau pemimpin soa di Elilayn bergelar Pattihuliselan dari matarumah Lumaela. Selain matarumah Lumaela, ada jugs matarumah lain yaitu Athena, Nalahelu, Samaena, Latihun dan Honlisa. Jabatan ketua adat di Layn adalah tomel sebagai pendamping dari Pattihuliselan. Soa Layn di Seith menempati juga daerah tersendiri dan mempunyai Masjid tersendiri pula.
Kini, setelah melalui proses berpindah-pindah (nomaden), semua soa tersebut telah bergabung dan bersekutu secara tetap dalam sebauh tatanan hidup sosial yang disebut negeri.
2. Struktur Pemerintahan dan Kemasyarakatan
Negeri Seith yang mempunyai lima Soa diperintah oleh seorang raja, diambil dari matarumah Nukuhehe. Raja dibantu oleh lima Kepala Soa dari masing-masing soa. Matarumah-matarumah yang ada pads Soa-soa telah tercatat di atas masing-masing. Setiap kepala soa memiliki kedudukan dan kekuasaan adatnya sendiri-sendiri di dalam soanya. Masyarakat Negeri Seith memiliki hubungan gandong dengan masyarakat Negeri Ouw di pulau Saparua karena proses migrasi yang telah dijelaskan.
Upacara-upacara adat yang paling menonjol di Seith adalah pengangkatan atau pelantikan Raja dan pembukaan dan penutupan sasi. Gambaran singkat pengangkatan raja sebagai berikut : Calon raja yang berasal dari matarumah Nukuhehe diantar ke rumah Tupan. Di sana, talon dipersiapkan dengan pakaian adat. Tupan mengantar talon ke rumah pusaka Mahu untuk mengambil berkat. Di depan pintu rumah, Mahu mendoakannya dalam bahasa Seith. Kemudian diantar oleh rombongan yang terdiri atas : Mahu, Nukuhuli, dan pars pendamping yang terdiri dari dua wanita (gadis), dan dua malesi (dalam pakaian adat) menuju Baileo. Setibanya di Baileo, mereka berdiri di hadapan tua-tua adat dan masyarakat yang sudah siap menanti. Raja di pasawale oleh 7 Ulu (tua adat). Kemudian Tupan menyarungkan mahkota sebagai
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, FISIP Unpaiti. Ambon 109
Hipotesa, Vol. 2 No. 1. Alei 2008 ISSN 0852-8977
ditunjukkan, misalnya; pcrtumbuhar lapangan kerja dan usaha perekonomian anak negeri Maluku. Menurut kelompok tersebut, konflik telah menghadirkan manfaat di mana begitu banyaknya anak negeri yang terlibat sebagai pedangan di pasar, banyak anak negeri yang trampil berusaha dengan becak, ojek, dan lainnya. Ada juga yang menyatakan bentuk manfaat lain dari konflik, yaitu, tumbuhnya tingkat kecerdasan masyarakat, khususnya anak negeri Seith. Mereka menyatakan bahwa kini masyarakat makin cerdas, kritis, dan rasional dalam menilai dan memahami realitas, sehingga tidak lagi terhasut atau termakan provokasi dalam bentu apa pun.
b. Pemetaan Konflik
Negeri Seith, sebagai negeri adat, bertumbuh dan membangun ciri peradabannya dengan berbagai dinamika sosial (proses sosial), yang secara hakiki, menyertai perkembangan sebuah masyarakat manusia. Proses sosial dimaksud bersifat; disosiatif (persaingan, pertentangan, maupun konflik) serta asosiatif (kerjasama). Dapat mengidentifikasi dan merekam berbagai proses sosial yang bersifat dssosiatif, berupa; persaingan sosial maupun pertikaian atau konflik, berupa; visi maupun fisik, laten (tersembunyi) maupun manifest (terbuka atau nyata). Juga, ditemukan adanya proses-proses sosial, berupa assosiatif (kerjasama) yang mengarah pada pencegahan dan penanganan atau penyelesaian konflik, dengan berbagai konsensus bersifat lisan maupun tulisan.
Proses sosial yang assosiatif mana, disertai berbagai upaya yang sifatnya terstruktur, dalam menjaga dan memeliharan berbagai kesepakatan damai, balk yang bersifat internal (negeri) maupun eksternal (antar negeri). Semuanya terbangun dan terpelihara dalam sebuah manajemen perdamaian (Peace management) versi masyarakat setempat, untuk membangun kehidupan secara damai dan hannoni.
Konflik yang terjadi dalam masyarakat Negeri Seith berkisar pada dua arcs, yaitu internal (di dalam negeri) dan eksternal (antar negeri dengan negeri tetangga, dalam wilayah jasirah Leihitu). Terdapat 6 (enam) bentuk potensi konflik laten, dalam kehidupan masyarakat Seith, yang perlu dikelola atau dimanaj dengan balk, agar tidak bermuara pada konflik terbuka, yaitu:
a. Saling membenci antartetangga. warga Wijk atau soa, dan antar pribadi.
b. Saling curiga antaranggota keluarga (adik-akak, suami-istri, dan antar istri adik-
kakak).
c. Masjid yang berbeda (4 buah Masjid) di Wijk atau soa masing-masing. yang
bila tidak dikelola dengan baik, akan menimbulkan konflik antar Wijk atau soa.
d. Kecemburuan antara Wijk/soa dalarn hal perlornbaan dan pertandingan olah
raga yang sering terjadi.
e. Pengaruh minuman keras dan pergaulan bebas di kalangan muda-mudi, baik di
dalam Wijk, negeri, maupun antar negeri.
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi. F/S/P Unpatti. Ambon 1 1 1
Hipolesu. Vol. 2 No. 1. Mei 2008 ISSN 0852-8977
i. Persaingan yang tidak sehat dalam ivent-ivent politik, berupa; Pilkada, Pilpress,
Pileg, dan Pilraja/Kades.
c. Penanganan Konflik dalam Membangun Kedamaian Hidup.
a. Arti Damai
Menurut masyarakat, meskipun konflik sering merupakan kenyataan yang sulit dihindari, namun hares diatasi dan ditangani sedapat mungkin untuk membangun kedamian hidup bersama, baik sebagai sesama anak negeri Seith maupun sesama orang basudara se-negeri ttangga, segandong dan Pela. Menurut mereka, damai itu indali dan semua masyarakat membutuhkannya. Dijelaskan, berdasarkan prinsip tersebut masyarakat Seith memiliki kedewasaan dan posisi kematangan tersendiri dalam menyiasati konflik di Maluku dengan kengeriannya yang dahsyat.
b. Nilai kedamaian.
Menurut informan, masyarakat Seith melihat kedamaian dalam sebuah nilai yang mendasar dan mengikat (membungkus) mereka. Dijelsakan bahwa nilai-nilai dasar yang mendorong dan mengikat dalam membangun hidup
berkedamaian tersebut, adalah: nilai sejarah kebersamaan mereka yang telah
membentuk keberdaan mereka sebagai anak negeri (orang basudara); nilai
keagamaan, nilai saling percaya dan sating bergantung di antara mereka.
Dijelaskan, ada sebuah nilai ideal (falsafah), sebagai pandangan hidup yang
utama (The bets way of Life), yang diyakini sebagai ideologi pemersatu yang
mengikat dan membimbing mereka dalam membangun hidup berkedamaian,
yaitu Uliala Leisiwa. Makna filosofis Teon Uliala Leisiwa adalah; Walaupun
kita berbeda soa atau negeri tetapi, kits diikat (dipersatukan) oleh Uliala dan
Leisiwa.
Nilai filosofi budaya tersebut merupakan pegangan hidup bersama dalam
rangka penanganan konflik serta menjaga dan memelihara kedaiaman hidup
diantara mereka, sebagai sesama warga anak Negeri Seith maupun dengan
saudara Negeri Tetangga se jasira Leihitu. Menurut mereka, falsafah Uliala
Leisiwa, merupakan Teon yang membungkus (mengikat dan mempersatukan)
semua anak negeri, termasuk dengan saudara negeri tetangganya. Bahkan.
dijelaskan bahwa keindahan hidup berdamai antara Seith dan negeri
tetangganya, yang dikenal sebagai saudara segandong secara adat merupakan
sebuah tuntutan adat.
c. Mekanisme memelihara kedamaian.
Masyarakat negeri Seith, memiliki mekanisme tersendiri baik secara adat,
hukum, maupun agama dalam menangani konflik (leten atau manifest) serta
menciptakan dan memelihara kedamaian di antara mereka. Penanganan konflik
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, F/SIP Unpalli, Ambon 1 12
Hipotesa, Vol. 2 No. 1. Mei 2008 ISSN 0852-8977
laten dilakukan secara persuasive (pengendalian konflik, pembimbingan atau pengarahan) dan antisipatif (berupa pencegahan). Caranya, melalui khotbat jumat di Masjid dan penguatan nilai-nilai adat di soa dan negeri. Soa merupakan basis terdepan yang memiliki peranan besar dalam rangka penanganan konflik, serta menjaga dan memelihara kedamaian. Kepala,soa bersama kepala pemuda di soa, bertugas mengawasi, menangani konflik, dan mernelihara hidup kedamaian antarwarga soa-nya, balk secara individual maupu internal keluarga, dan antarkeluarga dekat atau tetangga, serta antara soanya dengan sesama saudara soa lainnya dalam negeri.
Ditunjukkan pula bahwa, secara adat mereka miliki mekanisme tersendiri dalam memberi sangsi adat bagi setiap orang yang sengaja berlaku jahat dalam mengganggu kerukunan hidup Berta rasa kedamian dan ketentraman hidup
bersama. Bentuk sanksi tersebut adalah Molo, dilakukan kepada pihak yang mengganggu kedamaian dengan selam. Bila di antara para pelaku ada yang bertahan dengan tenang di dasa air maka dialah yang benar, sementara yang
tidak bertahan adalah pihak yang salah (pengacau) atau perusak kedamaian dan hares meminta maaf kepada pihak yang benar. Salah satu cara dalam menjaga dan memeliharan kedamaian hidup di antara mereka adalah membangun
silaturahim antarsesama warga pada saat hari rays keagamaan atau pads saat acara-acara yang dilakukan oleh tetangga atau keluarga dekat dan jauh, seperti; acara suntan, Tahlilan, perkawinan, orang meninggal, dan lainnya.
d. Respons masyarakat dalam membangun kedaiaman.
Berbagai pembinaan : keagarnaan, kemasyarakatan, maupun adat, dalam menangani konflik dan membangun serta memelihara kedaiaman, selalu dapat diterima dengan puas oleh warga. Pembinaan yang dilakukan oleh kepalah soa, tokoh agama, dan tokoh adat dalam rangka persiuasif (pengendalian dan pembimbingan) konflik serta antisipasi (pencegahan) konflik, sekaligus untuk membangun, menjaga, dan memelihara kedaiaman hidup bersama, dilihat sebagai hat yang bermakna religius dan magis adatis. Hal tersebut bila tidak diikuti maka akan mendapat sanksi religius maupun adatis. Alasannya, cars tersebut dapat menciptakan ketentraman bathin serta kedamaian dan kedmanan hidup bersama, baik di dalam kehidupan kekeluargaan, bertetangga, antar Wijk atau soa, dan antar negeri tetangga, sebagai orang basudara.
e. Cara penanganan issue
Masyarakat Seith senantiasa menolak berbagai issue yang memprovokasi dan mengadu-domba. Masyarakat lebih menaruh sikap saling percaya, baik secara vertikal dengan para elit di desanya (pemerintah, tokok adat, tokoh agama, tokoh masyarakat), maupun secara horisontal antarsesama warga dalam
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, FISIP Unpatti, Ambon
|
113
|
Hipotesa. Vol. 2 No. 1. Mei 2008 ISSN 0852-8977
membangun hidup bersama secara damai, baik di dalam keluarga, soa atau
Wijk, dan dalam negeri, serta antarnegeri bertetangga. Pada sisi penangangan
elit negeri (tokoh agama, adat dan pemerintahan), dijelaskan bahwa bila ada
issue yang mengadu-domba maka para elit atau pemimpin Iangsung melakukan
klarifikasi (penjernihan) dan pengarahan kepada warga, baik di Wijk atau soa
dan dusun, agar tidak terprovokasi. Masyarakat, selalu menaruh kepecayaan
kepada pernerintah negeri dalam melaksanakan pembangunan dan
menyelesaikan berbagai hal, termasuk issue yang mengaduh-domba, antarsoa,
Wijk, dan dusun, atau antarpribadi. Masyarakat juga akan menolak berbagai
issue yang mengadudomba masyarakat dan pemerintah negeri dalam hal
pembangunan.
d. Menangani Konflik dalam Membangun kedamaian.
Realitas kehidupan masyarakat Seith selalu berada dalam sebuah dinamika
sosial (konflik-konsensus), dan berada dalam sebuah tugas peace manajeman.
Dijelaskan:
a. Konflik Masyarakat Seith pemah mengalami beberbagai konflik yang traumatis
maupun yang insidental. Konflik-konflik tersebut tampil secara nyata (manifest)
maupun tersembunyi (laten). Realitas konflik meliputi berbagai aspek kehidupan,
balk yang bersifat internal, seperti; konflik dalam keluarga (suami-istri, orang tua-
anak, istri anak bersaudara), konflik antartetangga, antarsoa atau wijk, dan
antarpemuda. Selain itu, ada pula konflik yang bersifat ekstemal, yaitu konflik
dengan negeri tetangga. Nampak pula bahwa pola interaksi masyarakat dalam
kegiatan politik maupun cara penanganan pembangunan (perencanaan,
pelaksanaan, dan pengawasan pembangunan) yang tidak transparan pun
cenderung berimplikasi pada proses disharmoni dan konflik, baik pada tataran
elite maupun akar rumput. Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa masyarakat
Seith, secara hakiki, membutuhkan sebuah manajemen pendamaian (Peace
Management), sebagai ciri sebuah masyarakat berbudaya dalam membangun
kehidupan secara damai dan aman.
b. Membangun manajemen kedamaian. Temyata, masyarakat Seith telah begitu
terbiasa dalam memecahkan setiap permasalahan konflik yang mengganggu
kehidupannya secara bersama.
Masyarakat Seith adalah masyarakat cintah damai. Menurut mereka, damai itu indah. Konsekuensinya, meskipun konflik sering merupakan kenyataan yang sulit dihindari, namun harus ditangani sedapat mungkin untuk membangun kedamian, baik secara internal maupun eksternal. Mereka memegang teguh sebuah nilai kedamaian, yang secara kuat mendorong dan mengikat (membungkus) mereka dalam sebuah manajemen kedamaian. Nilai-nilai dasar
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, FISIP Unpaid, Ambon
|
114
|
Hipotesa. Vol. 2 No. 1. Mei 2008 ISSN 0852-8977
yang mendorong dan mengikat dalam membangun hidup berkedamaian, sebagai ideologi pemersatu, yaitu Uliala Leisiwa yang berarti; Walaupun kita berbeda soa atau negeri tetapi, kita diikat (dipersatukan) oleh Uliala dan Leisiwa. Nilai
filososfis tersebut menunjukkan bahwa, bagi masyarakat Seith, kedamaian bukan sekedar sebuah janji, tetapi sebuah fakta kehidupan yang bersifat kultus dan magis, yang bersifat kodrati bagi mereka_ Artinya, secara kodrati mereka telah
menerima fakta keberadaan mereka sebagai satu kesatauan dalam kedamiaan bersama. Falsafah Uliala Leisiwa, merupakan Teon yang membungkus (mengikat dan mempersatukan) semua anak negeri, termasuk dengan saudara negeri
tetangganya. Bahkan, keindahan hidup berdamai antara Seith dan negeri tetangganya, yang dikenal sebagai saudara segandong secara adat merupakan sebuah tuntutan adat. Disamping nilai kedamaian yang bersifat filosofis di atas,
mereka juga terpanggil menjaga dan memelihara kedamian hidup bersamanya atas dasar nilai sejarah kebersamaan mereka yang telah membentuk keberdaan mereka sebagai anak negeri (orang basudara); juga nilai keagamaan dan nilai
saling percaya dan saling bergantung di antara mereka sebagai anak negeri. -Masyarakat Seith memiliki mekanisme dalam menjaga dan memelihara kedamaiannya. Caranya, melalui berbagai konsensus, dan dialog, baik yang
bersifat pendekatan adat atau budaya, agama, maupun secara kemasyarakatan. Konsensus atau hasil kesepakatan damai tersebut, ada yang bersifat lisan (spontan) maupun tertulis. Semuanya diterima dan dijaga sebaik-baiknya, dengan
sadar, terbuka, dan bertanggung jawab. Bahkan, ada sanksi yang ditatapkan dalam menjaga dan memlihara basil kesepakatan damai tersebut, yaitu Molo dan cambuk bagi yang melanggar. Soa merupakan basis terdepan yang memiliki peranan besar dalam penanganan konflik, Berta memelihara kedamaian. Kepala soa berdama kepala pemuda di soa, bertugas mengawasi, menangani konflik, dan memelihara hidup kedamaian antarwarga soa-nya, baik secara individual maupun internal keluarga, dan antarkeluarga dekat atau tetangga, serta antara soanya dengan sesama saudara soa lainnya dalam negeri. Selaian konsensus dan peranan soa, upaya menjaga dan memelihara kedamaian dalam sebuah sustainable peace (kedamian yang berkelanjutan). Masyarakat Negeri Seith memiliki modal sosial yang cukup baik dalam membangun dan memelihara kedamiannya secara baik. Kenyataan tersebut akan menjadi modal dasar dalam pembangunan kedamaian yang berkelanjutan, bila dikelola secara baik. Modal sosial tersebut, berupa; rasa saling percaya dan rasa saling ketergantungan, baik terhadap sesama anggota masyarakat maupun terhadap pemerintah. Khusus dalam bidang politik, sikap saling percaya (trhursl) tersebut cenderung luntur atau semu karena menurut mereka, politik hanya membawa janji - janji kosong, rayuan, dan hiburan politik
Elsye Titaley, Dosen Jurusan Sosiologi, FISIP Unpaui, Ambon 1 15
Hipolesa. Vol 2 No. I. Mei 2008 ISSN 0852-8977
Daftar pustaka
Alo Liliweri; Prasangka dan Konflik, Komunikasi Lintas Budaya Masyarakat
Multikultur, Penerbit : PT. LkiS Pelangi Aksara Yogyakarta, 2005.
Dwi Narwoko - Bagong Suyanto (ed); Sosiologi Teks Pengantar dan Terapan; Penerbit
: Prenada Media, Jakarta - 2004.
Frank L. Cooley; Mimbar dan Takhta; Penerbit : Pustaka Sinar Harapan, 1987 -
Jakarta.
Pemerintah Propinsi Maluku; Peraturan Daerah Propinsi Maluku Nomor : 14 tahun
2005.
Ritzer George - Goodman Douglas J, Teori Sosiologi Modern : Prenada Media Jakarta,
1995.
Syani, A; Sosiologi dan Perubahan Sosial; Penerbit : Pustaka Jaya - Jakarta, 1995.
Ziwar Effendi; Hukum Adat Ambon - Lease, Penerbit : PT. Pradnya Paramita, Jakarta,
1987 - Jakarta
Elsye Titaley, DosenJuncsan Sosiologi, FISIP Unpatti, Ambon
|
117
|
loading...
0 komentar:
Post a Comment
Ayo Berkomentar...